
beritankri21.blogspot.com - Pasangan calon (paslon) nomor pemilihan enam dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Aceh, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah meminta majelis sidang panel perselisihan hasil pilkada tidak ingin permohonan sengketa yang diajukan oleh pasangan calon nomor pemilihan 5, Muzakir Manaf-T A Khalid.
Alasannya, permohonan yang diajukan paslon Muzakir-Khalid dinilai tidak memenuhi persyaratan diterimanya permohonan sengketa pilkada.
Hal itu disampaikan Sayuti Abu Bakar selaku pengacara Irwandi-Nova dalam sidang panel yang digelar di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (21/3/2017).
Sayuti meminta majelis sidang konsisten mengikuti aturan ambang batas perolehan suara yang diatur dalam pasal 158 Undang-Undang nomor sepuluh Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 10/2016 tentang Pilkada).
Adapun Pasal seratus lima puluh delapan ayat 1 huruf a, menyebutkan bahwa "Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur bisa mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan, (a) provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan bunyi dilakukan jika terdapat perbedaan paling tidak sedikit sebesar 2% (dua persen) dari total bunyi sah hasil penghitungan bunyi tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi".
"Jika penduduk Aceh kisaran 2 juta maka ambang batasnya sekitar 1,5 persen (paling tidak sedikit 2 persen). Jadi, kami minta MK komitmen menerapkan pasal itu (Pasal 158 UU 10/2016), sehingga permohonan pemohon itu tak bisa diterima karena tak memenuhi ambang batas," ujar Sayuti.
Pada Pilgub Aceh, Muzakir-Khalid meraih suara766.427sedangkan Irwandi-Nova meraih suara 898.710. Selisih suara kedua pasangan tersebut 132.283.
Untuk diketahui, Irwandi-Nova menjadi pihak terkait dalam sengketa Pilkada. Lantaran sebagai pemenang, paslon tersebut menjadi pihak terdampak kalau ada perubahan ketetapan hasil pilkada.
Sementara pihak termohon dalam sengketa pilkada merupakan pihak penyelenggara pemungutan suara.
UU Pilkada atau UU Pemerintahan Aceh
Dalam sidang panel dengan agenda mendengarkan permohonan pemohon yang digelar pada Kamis (16/3/2017), Yusril Ihza Mahendra selaku Kuasa Hukum Muzakir-Khalid meminta majelis hakim memberi kekhususan bagi pemilihan gubernur di Provinsi Aceh.
Menurut Yusril, harusnya MK mengabaikan atau mengesampingkan ketentuan Pasal seratus lima puluh delapan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Lantaran, pasal itu berlaku untuk Pilkada di daerah lain secara nasional.
Sementara Aceh merupakan wilayah khusus sehingga harus menggunakan pasal tujuh puluh empat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (lex spesialis).
Dalam Pasal 74 UU Pemerintah Aceh itu tak mengatur mengenai selisih bunyi. Oleh lantaran itu, permohonan sengketa bisa diajukan meskipun ambang batas selisih suara melebihi ketentuan pasal seratus lima puluh delapan UU Pilkada.
sesuai dengan prinsip hukum, lex generalis diesampingkan aturan yang lex spesialis. Sebab UU Pemerintahan Aceh bersifat eksklusif, maka UU ini dapat mengesampingkan ketentuan dalam UU Pilkada," ujar Yusril saat sidang perkara sengketa Pilgub Aceh Gedung MK, Jakarta.
Menanggapi alsan pemohon, Sayuti menilai sedianya ketentuan amabang batas tetap berlaku. Meski Aceh termasuk sebagai daerah khusus tetapi kalau UU Pemerintahan Aceh tak mengatur selisih perolehan suara maka sedianya kembali pada UU 10
Padahal jika enggak diatur secara hukum lex spesialis derogate generali itu kembali ke hukum nasional
Biar MK mengacu pada UU 10, sayuti menambahkan, ketentuan
Dalam pasal itu disebutkan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Eksklusif Ibukota Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri.
"Jadi jelas, ambang batas tetap berlaku untuk sengketa perolehan suara," kata Sayuti.


0 comments:
Post a Comment