
beritankri21.blogspot.com - Semakin hari praktik korupsi di Indonesia semakin berkembang. Hukum gagal membendung perilaku busuk penyelenggara negara atau pejabat pemerintah.
Jerat sanksi yang semakin berat bukannya menitahkan dampak pencegah bagi pelaku, tetapi justru memacu mereka mengembangkan modus korupsi dari simpel menjadi makin canggih dan rumit. Supaya korupsi yang dilakukan lepas dari jerat hukum dan mereka bisa terusmelenggang bebas menikmati uang hasil korupsi, tujuannya
Pelaku korupsi tak lagi terbatas individu pejabat atau penyelenggara negara, namun juga penegak hukum, swasta, dan terakhir parpol. Dakwaan kasus korupsi proyek KTP elektronik yang baru mulaidisidangkanmengindikasikan sejumlah parpol gede terlibat atau kebagian dana hasil korupsi. Kalau rakyat, niscaya terutama cendekiawan, mulai mengancah aturan hukum yang mengatur sanksi pidanaatau pembubaran terhadap parpol yang terlibatkorupsi lantaran keterlibatan inibukan cuma kian memelaratkan dan menyulitkan rakyat, lebih dari itumakin mengoyak rasa keadilan rakyat.
Dikarenakan parpol merasa kebal hukum, keberanian ataukeleluasaan parpol ikut korupsisangat mungkin DPR telah membuat perlindungan kukuh terhadap parpol. Kulminasinya, UU parpol sangat sama tak mengatur hukuman pidana atau pembubaranparpol yang terlibat korupsi.
Sanksi administrasi berupapenolakan pendaftaran parpol jika tak memenuhi syarat prinsip nama, lambang, dan tanda gambar parpol; tujuan dan fungsi parpol.
Hukuman teguran pemerintah dikenakan terhadap parpolyang nama, lambang, atau tanda gambar punya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara legal oleh parpol lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Tidak memilikikepengurusan di tiap provinsi dan paling sedikit tujuh puluh lima persen dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi bersangkutan dan paling sedikit 50 persen dari jumlah kecamatan pada kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75 persen dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi bersangkutan dan paling sedikit lima puluh persen dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Tidak mempunyai kantor tetap di pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu; serta tak punya rekening atas nama parpol.
Hukuman penghentian bantuan keuangan dariAPBN/APBD dikenakan bagi parpol yang tidak mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan. Selain tersebut, juga tak memelihara dan mempertahankan keutuhan NKRI; takberpartisipasi dalam pembangunan; takmenjunjung tidak rendah supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Takmelakukan pendidikan politik, tidak menyalurkan aspirasi anggotanya; takmenyukseskan pemilu dantak memelihara ketertiban.
Perlindungan berlebihan terhadap parpol bukan saja menafikan rasa keadilan rakyat, lebih dari itu dikenal sebagai perilakuinkonstitusional, bertentangan dengan Pasal dua puluh tujuh Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap subyek hukum di Indonesia berbarengan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Lantaran tersebut, DPR harus berani memasukkan sanksi pidana dan pembubaran parpol yang ikut andil korupsi.
Bubarkan parpol korupsi
Meskipun hukum positif sekarangmelindungi parpol korupsi dari sanksi pidana, tidaklah demikian dengan hukuman pembubaran. Kendati tak bersifat organis-khusus, hukum positif sudah mengatur peluang pembubaran terhadap parpol korupsi sebagaimanaketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 telah menisbahkan wewenang kepada Mahkamah Konsititusi membubarkan parpol.
Norma Pasal 24C Ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.Selanjutnya MKmengatur hukum acara pembubaran parpol dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 12 Tahun 2008. Kalau ideologi, secara substantif MK telah cukup baik mengatur bahwa parpol mampu dibubarkan Jika imbas yang ditimbulkan kegiatan politiknya bertentangan dengan UUD 1945, atau
Tapi, mungkinkarena kurang cermat, MK malah melakukan penyimpangan dalam mengatur pihak yang mampu mengajukan permohonan pembubaranparpol. Pasal tiga PMK Nomor 12 Tahun 2008membatasi hanyapemerintah—dapat diwakili Jaksa Mulia dan/atau menteri—yang mampu menjadi pemohon pembubaran parpol. Pengaturan yangmenyimpang sekaligus membatasidi Pasal tiga PMK No 12/2008 itu seyogianya segera direvisi MK.
Pengaturan itu bukan sajatak mempunyai dasar hukum dan rasionalitas pengaturan yang baik,melainkan jugamerampas dan membelenggu hak konstitusional rakyat untuk memperoleh keadilan.Seyogianya MK membuka akses keadilan luas untuk rakyat yang telah diperlakukan tidak adil oleh parpol pelaku korupsi.
Bahrul Ilmi Yakup,
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi; Ketua Pusat Kajian BUMN;Kandidat Doktor Ilmu Hukum BUMN FH Universitas Sriwijaya
---
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Membubarkan Parpol Korup".


0 comments:
Post a Comment