
beritankri21.blogspot.com - Korporasi yang ikut andil sebuah kasus kejahatan, selama ini belum mampu ditindak oleh aparat penegak hukum. Hanya orang-orang yang terdapat di dalam korporasi tersebut lah, yang baru bisa ditindak.
Perihal itu, menurut Ketua mahkamah agung Hatta Ali, menjadi dasar lahirnya Peraturan MA Nomor tiga belas Tahun 2016 tentang Tata Langkah-langkah Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Peraturan tersebut diyakini menjadi solusi untuk menindak korporasi nakal.
Saat UU Darurat Nomor tujuh Tahun 1955 tentang Pengusutan, penegakkan hukum terkait korporasi sebetulnya telah dimulai
Tetapi, UU yang mengadopsi aturan yang diterapkan di dalam sistem hukum Belanda tersebut, belum mampu menindak korporasi secara organisasi.
“Belanda saat ini telah memasukkan kejahatan korporasi di dalam Pasal 51 KUHP Belanda, yang mencakup seluruh kejahatan dalam KUHP Belanda. (Sedangkan) kondisi di Indonesia saat ini masih stagnan,” kata Hatta.
Demikian pula dengan 70 UU lainnya yang juga sudah memuat pasal terkait kejahatan korporasi. Seperti UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan UU Nomor delapan Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang. Serta UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor delapan belas Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Konservasi dan Pengelolaan lingkungan hidup.
“Di dalam Perma ini mengatur tentang hukum acaranya. Sebab, selama ini terjadi di berbagai perundang-undangan yang sudah mengatur kendala korporasi, tapi kendala acaranya belum jelas,” kata ia.
“Perma ini mengatur sejumlah perihal yang tak diatur di dalam KUHAP, yaitu tentang tata langkah-langkah pemidanaan terhadap korporasi. Pertangungjawaban grup korporasi, ini tidak sedikit kondisi hukum Indonesia yang stagnan di dalam menangani kejahatan korporasi,” lanjut ia.


0 comments:
Post a Comment