
beritahotnkri.blogspot.com Imlek bagi masyarakat Tionghoa merupakan satu perayaan untuk menyambut pergantian tahun dalam kalender China. Pergantian tahun ini diiringi dengan sebuah tradisi yang masih melekat bagi warga Tionghoa, yakni meramal.
Ramalan atau Ciam si dikenal sebagai sebuah tradisi kuno untuk meminta nasib dan peruntungan pada setiap pergantian tahun. Pekan lalu, Kompas.com mendatangi Wihara Dharma Bakti atau yang lebih akrab disebut dengan nama Wihara Jin De Yuan.
Memasuki wihara tertua di Jakarta yang usianya sudah mencapai 400 tahun tersebut, samar-samar terdengar suara “klotak..klotak..klotak”.
Bunyi tersebut datang dari ruangan di bagian samping wihara. Terlihat 2 orang wanita paruh baya tengah mengocok batang-batang bambu di dalam wadah yang juga terbuat dari bambu. Mereka tengah melakukan ciam si.
(Baca: Peran Gus Dur di Pulang Kemeriahan Imlek...)
Ciam si memanfaatkan sarana berupa batang bambu yang diletakkan pada wadah seperti gelas, yang juga terbuat dari bambu.
Batang bambu tersebut diberi nomor pada salah satu permukaannya. Jumlah batang bambu bisa 60 atau 100. Selain itu, ada 2 bilah kayu berbentuk bulan setengah dan berwarna merahyang disebut siao poe.
Salah seorang pengunjung wihara yang juga baru usai ciam si menyarankan sebelum mengocok batang-batang bambu, sebaiknya terlebih dahulu lakukan sembahyang menggunakan dupa dan tuang minyak pada wadah-wadah lampu.
Setelah tersebut, ia mengarahkan untuk mengangkat wadah berisi batangan-batangan bambu.
“Ucap nama, umur, tinggal di mana, terus yang mau ditanya apa. Mesti fokus tanyanya, yang jelas,” ujar ia.
(Baca: Safari Imlek dan Semangat Ayam Api di Medan)
Sesudah memohon, batang bambu boleh dikocok hingga terlontar 1 batang bambu yang bertuliskan nomor. Ambil siao poe. Tanyakan kembali apakah benar nomor itu dikenal sebagai jawaban dari permohonan atau pertanyaan yang diajukan. Lalu lempar 2 bilah kayu itu.
Berarti kocokan bambu harus diulang kalau keduanya tertelungkup Artinya bisa benar bisa tak kalau keduanya terlentang Kalau yang 1 tertelungkup dan yang satu terbuka, artinya jawaban tersebut legal.
Langkah selanjutnya yang wajib dilakukan merupakan mencari kertas dengan nomor yang tertera pada batang bambu. Kertas tersebut berisi syair yang menggambarkan jawaban atas pertanyaan yang diucapkan saat mengocok bambu. Artinya bisa ditanyakan kepada tetua yang ada di wihara.
Tradisi leluhur
“Ciam si tersebut tradisi yang ribuan tahun telah dilakukan dan sampai sekarang masih dilakukan. Tradisi turun temurun. Kalau ditanya awalnya dari mana juga kita tidak tahu dengan jelas,” ujar Wiguno, salah seorang pendiri Yayasan Wihara Dharma Bakti.
Menurut dia, ciam si boleh dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Siapa saja yang memerlukan petunjuk ilahi boleh datang dan melakukannya.
“Sesungguhnya boleh kapan saja namun jika dalam hari-hari sibuk seperti saat sembahyang Imlek ini memang sebaiknya jangan. Istilahnya dewa-dewi juga kedatangan tidak sedikit tamu,” ujarnya.
Lantaran ciam si adalah tradisi, oleh Seperti Acen (55), salah satu pengunjung wihara yang hari tersebut melakukan ciam si.
(Baca: Harmoni Tahun Baru Imlek di Kota Berjuluk Serambi Madinah)
“Biasanya aku ciam si waktu Ce It, tanggal 1 di awal tahun baru, dan Cap Go, tanggal 15. Minta petunjuk untuk apa saja. Ada persoalan apa, rezeki bagaimana, keluarga, seluruh bisa ditanya,” ujar Acen (55), pengunjung Wihara Dharma Bakti, sesudah melakukan tradisi itu.
Ia sebetulnya sudah tak lagi memeluk agama Buddha. Tetapi, sampai sekarang dia masih sering melakukan ciam si.
“Sebagai pegangan, petunjuk. Kadang ada juga yang hasilnya seperti ingin memberi tahu sesuatu biar kita jaga-jaga,” ungkapnya.
(Baca: Ada "Serba Pantang" di Imlek, Apa Kata Generasi Milenial Tionghoa?)
Tidak hanya oleh mereka yang tua-tua saja, tradisi ini juga dilakukan oleh mereka yang masih muda. Seperti Yuli (28) yang hari tersebut datang bersama keluarga.
Enggak yakin jalan keluarnya bagaimana kalau ada yang mau ditanya Tapi yang krusial yakin dan jelas mau tanya apa,” kata Yuli.
Harus dengan keyakinan penuh
Wiguno menyarankan ciam si dilakukan dengan keyakinan penuh. Sebaiknya tidak usah mencoba ciam si kalau tak percaya
“Kalau mau tanya wajib yakin. Kalau enggak percaya buat apa tanya,” kata Wiguno.
Ciam si tak selalu hasilnya baik. Terkadang juga buruk, menurut manusia. Tapi, Wiguno mengatakan jawaban itu mesti diterima. Ucapkan syukur kalau baik Kalau buruk, mintalah konservasi.
“Hasil dari ciam si, baik atau buruk nanti juga akan balik ke manusianya. Bagaimana perilaku, tingkah laris dia bagaimana,” katanya.

0 comments:
Post a Comment