
beritahotnkri.blogspot.com Koordinator Hukum dan Keadilan Divisi Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Tama S. Langkun, penangkapan hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkuat kesan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mendukung agenda anti-korupsi.
Kasus serupa pernah memukul mantan hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtarl. Akil ditangkap sehubungan dengan penanganan pemilu sengketa suap. Sampai banding, Akil dihukum dengan hukuman seumur hidup.
Selain itu, beberapa dari Mahkamah Konstitusi juga menghambat upaya pemberantasan korupsi.
"Saya melihat kasus Patrialis memperkuat Pengadilan tidak keputusan Pengadilan korupsi pro memerangi bahkan menghambat beberapa contoh tentang perluasan objek praperadilan," kata Tama saat memberikan informasi di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (27/01/2017).
Menurut ICW sejak 2015 setidaknya lima keputusan Mahkamah Konstitusi yang berpotensi mengancam pemberantasan korupsi. Pertama menyangkut perpanjangan objek praperadilan.
Pengadilan mengabulkan uji materi Pasal 77 huruf a KUHAP memperpanjang objek praperadilan.
Melalui keputusan ini, Mahkamah menambahkan penentuan tersangka, pencarian dan penyitaan sebagai objek permohonan praperadilan.
Sebelumnya obyek praperadilan hanya tentang keabsahan penghentian penyidikan dan penuntutan.
Kedua, terkait dengan pembatalan yang pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilu.
Dengan demikian mantan narapidana untuk mengikuti pemilu. Pada bulan Desember 2015, Mahkamah mengabulkan permohonan Boentaran Anna,Casino Indonesia istri Djoko Tjandra, buronan dalam cessie kasus korupsi (hak untuk mengumpulkan) Bank Bali.
Dalam putusannya MK menyatakan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan permohonan judicial review terhadap putusan hakim yang mengikat secara hukum.
Kemudian pada tanggal 7 September 2016, Pengadilan mengabulkan seluruh gugatan terkait dengan penafsiran 'pemufakatan jahat' yang diusulkan oleh Novanto.
Pengadilan khusus menyatakan istilah 'pemufakatan jahat' dalam Pasal 88 KUHP dapat digunakan dalam undang-undang lainnya, termasuk UU Korupsi (Tipikor).
Keputusan terbaru dari Pengadilan yang berkaitan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, di mana Pengadilan menyatakan korupsi harus memenuhi kerugian yang nyata mereka untuk negara.
"Keputusan akan menghambat penyidikan kasus korupsi. Banyak kasus yang tertunda harus menunggu proses menghitung potensi kerugian negara. Diantaranya adalah kasus dugaan korupsi dalam proyek E-KTP," kata Tama.
Sebelumnya, KPK menetapkanPatrialis Akbar sebagai tersangka. Patrialis diduga menerima suap dari 20.000 dolar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura, atau total sekitar Rp 2,15 miliar dari importir daging.
Penyuapan terkait dengan judicial review UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan sedang ditangani MK. Menurut Komisi, Patrialis menjanjikan BHR, importir daging, akan membantu membuat Mahkamah mengabulkan judicial review.

0 comments:
Post a Comment