
beritahotnkri.blogspot.com Ketua Setara Institute Hendardi menganggap keputusan pemerintah untuk menyelesaikan Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (kasus TSS) secara rekonsiliasi atau non yudisial kental dengan unsur politis.
"Keputusan pemerintah tentang makanisme non yudisial dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM TSS seperti disampaikan Menkopolhukam Wiranto dan Komnas HAM adalah keputusan pragmatis dan bias politik," ujar Hendardi melewati siaran pers, Rabu (1/2/2017).
Hendardi menyebut, bias politik dari kebijakan tersebut terlihat dari pengambil keputusan opsi itu, yakni Wiranto.
Pada periode terjadinya pelanggaran HAM itu, Wiranto merupakan pemegang komando atas TNI dan Polri sebelum adanya pemisahan.
Secara moral dan politis, Wiranto tidak mempunyai legitimasi untuk memutus pilihan penyelesaian kasus TSS I dan II.
"Di mana seharusnya (Wiranto) termasuk pihak yang harus dimintai keterangan dan pertanggungjawaban," kata Hendardi.
Di sisi lain, keputusan ini menggambarkan lemahnya Komnas HAM sebagai lembaga yang punya kewenangan penyelidikan.
Dalam penyelidikan tersebut, adanya spekulasi pelanggaran HAM pada kasus TSS I dan II berdasarkan bukti yang cukup disimpulkan komnas HAM. Namun, usaha rekonsiliasi ini dilakukan dibiarkan begitu saja.
Mekanisme non yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM cuma diamini kalau secara teknis hukum
sementara itu, untuk kasus ini, selain adanya bukti-bukti kuat yang sudah dihimpun oleh Komnas HAM, juga memungkinkan melakukan interogasi para saksi yang masih hidup.
"Bahkan tidak sedikit yang menjadi pajabat negara. Karena itu pilihan non yudisial dikenal sebagai langkah keliru dan melawan keadilan publik," kata Hendardi.
Menurut Hendardi, Presiden Joko Widodo harus segera mengambil sikap tegas sebagaimana yang dijanjikan dalam Nawacita dan Wacana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Di situ disebutkan bahwa keputusan pilihan penyelesaian pelanggaran HAM bakal dilakukan sesudah proses pengungkapan kebenaran terlebih dahulu oleh suatu komite khusus.
Janjinya tersebut direalisasikan oleh jokowi diminta dengan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran dan Keadilan.
kata Hendardi, warisan pelanggaran HAM masa diselesaikan oleh yang bakal menentukan pilihan jalur yudisial atau non yudisial untuk lalu.
"Jokowi jangan lengah dengan manuver sejumlah pihak yang menghendaki penyelesaian pelanggaran HAM bertolak belakang dengan janji Jokowi," kata Hendardi.
Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat menyebut, keputusan langkah non yudisial untuk penuntasan kasus Semanggi dan Trisakti diambil berdasarkan sikap politik pemerintah saat ini.
Penyelesaian kasus TSS melalui jalur pengadilan HAM ad hoc dipaksakan imdadun mengaku sulit untuk.
Selain sebab pilihan politik pemerintah, selama ini pihak Kejaksaan Agung juga tidak bisa bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
Secara terpisah, Menko Polhukam Wiranto mengatakan, pemerintah menginginkan adanya bentuk penyelesaian kasus HAM masa kemudian tanpa menimbulkan masalah baru.
Hasil penyelidikan KPP HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II pada bulan Maret 2002, menyatakan bahwa ketiga tragedi tersebut bertautan satu sama lain.
KPP HAM TSS juga menyatakan, bahwa “…terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis serta meluas…”.
Komnas HAM melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap beberapa pimpinan TNI/Polri pada masa tersebut.

0 comments:
Post a Comment