Ads

Masih adakah tersisa waktu untuk mengurusi dirinya sendiri kalau jajaran kepolisian sibuk menghadapi berbagai masalah kamtibmas Itulah tesis tulisan ini


beritahotnkri.blogspot.com -Menurut penulis, Kapolri Tito Karnavian memulai jabatannya pada saat yang salah. Mengapa? Sebab, sejak dilantik pada Agustus 2016, Polri terus- menerus disibukkan beragam peristiwa kamtibmas yang menuntut mulai dari perhatian, tenaga, hingga dana amat gede.

Sebut saja proses penyelidikan dan penyidikan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dilanjutkan kasus makar serta kasus penodaan oleh ulama. Pengamanan dua  demo gede di Jakarta tahun lalu sangat menguras tenaga anggota Polri. Hal tersebut berlanjut hingga demo besar yang juga terjadi tahun ini menjelang masa pemungutan bunyi terkait pilkada serentak di semua Indonesia.

Tendensi beberapa kalangan yang gemar mengerahkan massa juga membuat Polri cuma bersikap reaktif. Belum lagi penanganan kasus teror dan sejumlah kejahatan yang menarik perhatian warga (seperti kejahatan siber dan narkotika) sungguh membuat polisi sibuk.

Masih adakah tersisa waktu untuk mengurusi dirinya sendiri kalau jajaran kepolisian sibuk menghadapi berbagai masalah kamtibmas Itulah tesis tulisan ini.

Saat diumumkan sebagai pengganti Badrodin Haiti, nyaris tidak ada pihak yang berkeberatan dengan pilihan presiden tersebut. Reputasi kerja menonjol, kepribadian santun, dan intelektualitas di atas rata-rata menjadikan Tito sebagai Kapolri yang nyaris sempurna. Hampir semua orang, di dalam maupun di luar Polri, berharap banyak kepadanya dalam rangka membawa kepolisian menjadi semakin profesional, modern, dan terpuji. Ketiga hal ini lalu disingkat menjadi Promoter dan jadi jargon baru yang dikumandangkan di semua kantor polisi se Indonesia.

Sesudah setengah tahun menjabat, anggapan positif tentang Tito tak berubah. Langkah-langkahnya mengendalikan tuntutan massa dalam kasus Ahok ataupun saat merekayasa aliran massa yang bak air bah saat demo "411" dan "212" dilakukan dengan sungguh dingingus tegas.

Tidak hanya jago di lapangan, Tito juga rajin melobi aneka pihak yang punya pengaruh dalam membuat rangka situasi kamtibmas yang normal. Akhirnya, penulis menduga, Tito akan atau bahkan telah kelelahan dan kehabisan waktu untuk studi terkait organisasi Polri dan untuk mengutak-atik kemungkinan solusi strategis.

Permasalahannya, jika kecerdasan sang Kapolri hanya dihabiskan untuk menangani hal-hal pragmatis, "kasusal", dan menyangkut tingkat teknis saja, maka kapasitas Tito tak akan optimal. Dia berpotensi menjadi tak ubahnya sekadar Kapolri yang mengejar prestasi dari kasus ke kasus, terobosan dilakukan oleh yang melakukan perubahan seadanya dan yang memilih menjaga keseimbangan daripada.

Sebagai bekas komisioner di Komisi Kepolisian Nasional, sudah lama penulis melihat bahwa persoalan Polri berada di manajemen sumber daya manusia. Manajemen yang ada sekarang kelihatan tidak kuat mendukung persoalan di seputar 400.00 anggota Polri. Kenapa demikian? Utamanya lantaran tidak didukung oleh basis data yang kuat guna menopang pola penempatan, penugasan, pendidikan, serta pengakhiran tugas dari masing-masing personel.

 meskipun mungkin persentasenya mencondong mengecil, ketentuan yang ada diesampingkan masih terdapat celah untuk diskresi guna. Demikian juga celah untuk manajemen jendela (bergantung siapa yang diingat petinggi).

Implisit bahwa kendala SDM Polri menyangkut basis data yang kuat tersebut terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Secara umum, peran teknologi informasi di Polri masih amat terbatas. Meski Polri mempunyai Divisi Teknologi Informasi, namun tak ada program teknologi informasi yang bisa dibanggakan dan atau berlaku di seluruh Polri. Banyak aplikasi yang hanya berlaku di tingkat polda, misalnya, atau khusus di satuan kerja tertentu. Agak sulit membayangkan organisasi sebesar Polri, dengan penjelasan pekerjaan aneka, bisa bekerja optimal tanpa dukungan teknologi informasi memadai.

Dengan mudah kita melihat pula persoalan di reserse jika sudi meneropong persoalan secara lebih jauh Proses kerja dari satuan yang adalah andalan Polri ini hampir seluruh dikerjakan secara manual, minim dukungan teknologi informasi. Usaha menjadikan penyidik sebagai profesi yang tak bisa dimasuki sembarang orang, antara lain melalui penerbitan sertifikasi, sampai kini tidak jadi-jadi. Manajemen penyidikan juga dipenuhi praktik penundaan berlarut sehingga tak jelas batas waktu penyelesaian suatu kasus.

Penyidik umumnya mengeluh anggaran yang terbatas kalau ditanya mengapa demikian Ini ada benarnya. Kalau sudi melihat ke belakang, meski

Polri belum bisa keluar dari jebakan belanja gaji bagi anggotanya yang terus membengkak (kini 70-an persen) dan menekan komponen belanja modal dan belanja barang. Maka budget Polri yang diterima dari negara bakal habis untuk gaji saja kalau Polri tak melakukan moratorium penerimaan anggota Artinya, tidak ada lagi uang untuk operasi dan pembangunan kantor baru, contohnya.

Ada permasalahan lain? Masih banyak. Demi kasus yang bersifat pragmatis dan segera bisa membuat Polri kehabisan waktu guna berpikir kendala strategis tentang dirinya dan fungsinya di masyarakat, kesibukan Polri mengatasi kasus

Tentunya Tito tak bisa memilih kapan dirinya menjadi. Kalau sekarang Polri dikepung permasalahan kemasyarakatan, itulah realitas yang mesti dihadapi. Bagaimana mencari solusinya?

Implisit di balik kekuatan sang Kapolri, kemungkinan tersebut juga yang jadi kelemahannya: penggerak bagi perubahan organisasi melulu diletakkan di bahu Tito sendiri. Sementara perwira-perwira tinggi lain bersembunyi. Ada yang lantaran tak memiliki pemikiran yang bernas, ada pula yang lantaran jerih apabila diadu dengan pemikiran sang Kapolri.

Membiarkan Kapolri menjadi pemikir strategik utama dan satu-satunya tentunya berbahaya. Selain bahaya one man show, juga ada bahaya mental fatigue bila orang wajib menanggung beban berat sendirian.

Di pihak lain, Polri mesti terus mendorong pusat-pusat pemikiran di kepolisian ataupun perwira yang bertendensi pemikir untuk terus melahirkan ide-ide terobosan yang pada gilirannya diakomodasi oleh pimpinan puncak Polri. Kegiatan berpikir ini umumnya jauh dari kesibukan operasional yang tinggi.

Hal tersebut bukannya tak ada. Walau demikian, ide atau pemikiran yang dilahirkan itu masih kental dengan pemikiran khas komunitas Polri: "bagaimana agar Polri tambah kuat, tambah besar sehingga perlu ditambah anggaran, kewenangan, dan sebagainya". Jika tipikal pemikiran seperti itu yang selalu muncul, alih-alih mendukung kerja petinggi puncak Polri, malah bakal tambah membebani Polri.

Sejauh ini pusat-pusat pemikiran Polri masih dipersepsi sebagai tempat buangan. Kalaupun tidak lagi, maka lembaga seperti Sekolah Tidak rendah Ilmu Kepolisian, contohnya, tidaklah dianggap bergengsi dalam pembentukan kebijakan. Maka Polri akan kehabisan kemampuan melihat dan berbuat yang visioner kalau semua satuan kerja Polri sibuk ngurusi masalah operasional
SHARE

Author

Hi, Its me Hafeez. A webdesigner, blogspot developer and UI/UX Designer. I am a certified Themeforest top Author and Front-End Developer. I'am business speaker, marketer, Blogger and Javascript Programmer.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system