Ads

Menyikapi gonjang-ganjing para elitis yang membuat konstruksi ketatanegaraan kelihatan ringkih - meminjam istilah Himawan


beritahotnkri.blogspot.com - Menyikapi gonjang-ganjing para elitis yang membuat konstruksi ketatanegaraan kelihatan ringkih - meminjam istilah Himawan, Sekjen Asosiasi Guru Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, layaknya organisasi ”ketoprak”—sejatinya tidak lepas dari sikap mental yang sering kali membenarkan cara-cara demagogisme.

Demagogisme para elitis itu terbaca dalam kasus pelantikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh Pelaksana Tugas (Plt) Ketua mahkamah agung (MA). Antara DPD dan MA ini dipraduga oleh publik sedang menyimpan ”teka-teki” kepentingan. Tidak mungkin sampai noma-norma yuridis dijadikan obyek permainan kalau tak karena kepentingan yang sungguh strategis

Demagogisme merupakan deskripsi pendustaaan atau kebohongan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang ikut andil dalam praktik-praktik tidak terpuji, melanggar kode etik jabatan atau ”menyelingkuhi” norma yuridis. Mereka nekat melakukan ini lantaran ada kepentingan besar yang diincar atau dikalkulasi menguntungkannya.

Seseorang atau beberapa orang itu mendustai kebenaran dan kejujuran. Kebiasaan yuridis yang seharusnya memerintahkan untuk menjaga martabat institusi, khususnya institusi negara,tidak dilaksanakannya dengan betul, konsisten, egalitarian, dan berkeadilan.

Norma yuridis malah dijadikan sebagai instrumen melindungi praktik kotor atau dustanya. Norma yuridis dipermainkan sehingga tampak tak menarik dan semakin kehilangan kredibilitasnya.

Secara yuridis melantik pejabat sekelas ketua DPD hanya boleh dilakukan ketua MA, bukan oleh Plt, atau dalam kebiasaan yuridis tak ada ”ruang” pendelegasian. Tapi, opsi jadi demagogisme dilengserkan oleh ternyata perintah kebiasaan ini tidak diindahkan sehingga yang terbaca merupakan gugusan bintang-bintang yang.

Mereka yang menjadi komunitas demagogis itu merupakan komplotan orang pandai atau berpengetahuan hukum. Mereka ini pintar berdalil dan berlogika, tapi gagal menjaga amanat yang dipercayakan kepadanya. Mereka bukan cuma mendustai rakyat, melainkan juga membodohi dirinya sendiri.

Bukan hanya elitis DPD dan ”oknum” di MA yang terbaca jadi demagogis. Lantaran, faktanya, demagog-demagog memang masih mencengkeram kuat negeri ini. Mereka menancapkan kuku-kukunya dalam lingkaran kekuasaan atau jabatan yang dipercayakan kepadanya. Mereka jadikan kekuasaan untuk membuka jalur pungli dan memperluasnya.

”Kita sudah melafalkan hukum utama. Mari kita saat ini menerapkannya dalam hidup ini,” demikian ajakan ahli hukum Edwin Markham yang ditujukan kepada setiap pengemban amanat negara untuk mewujudkan sikap dan perilaku yang tidak mendustai kebenaran.

Pengemban amanat negara dikenal sebagai sosok manusia yang sudah pandai melafazkan hukum. Namun, fakta yang terbaca: mereka belum pasti militan dalam mengimplementasikannya. Mereka itu bisa paham dan hafal regulasi birokrasi di luar kepalanya, tetapi faktanya mereka tidak bermental konsisten dan militansi dalam penerapannya. Penegakan kebiasaan mampu terukur melalui regulasi yang terimplementasi secara jujur, obyektif, dan berkeadilan.

Tidak boleh didiamkan

Demagogisme itu adalah jenis model berpolitik yang pelakunya tergolong serius dalam mempermainkan hukum. Di tangannya, hukum digunakan sebagai instrumen untuk membuat kebingungan di tengah masyarakat. Mereka jadikan kekuasaan sebagai instrumen menghancurkandan melumpuhkan bekerjanya sistem hukum.

Saat di mana-mana mudah ditemukan praktik demagogis tersebut, maka ini mengindikasikan kegagalan mewujudkan negara berbasis regulasi. Para oknum aparat penegak hukum dan birokrasi pada dasarnya adalah pelaksana utama gerakan pembumian kebiasaan yuridis. Namun, saat dalam realitasnya rakyat (publik) masih ”terjajah” oleh aneka model pembangkangan hukum, berarti gerakan tersebut bisa terbilang gagal.

Kalau setiap produk legislasinya tidak bermarwah dampak disimpangi oleh para elite yang semestinya menjadi sumber keteladanan hukum, uang tidak kecil tidak bakal ada artinya dihabiskan segala bentuk politik pembaruan hukum nasional yang

State without law dikenal sebagai kata yang digunakan oleh Shubhan al-Khafaidz (2007) untuk menjawab risiko kehancuran negara akibat berlaku absolutnya egoisme dan sikap ambisius pemegang kekuasaan yang suka mengembangkan beragam model pembangkangan hukum atau penyalahgunaan etik kekuasaan. Stigma itu tidak salah.

Hukum kausalitas terjadi di negeri ini. Rentannya konstruksi negara atau tercerabutnya marwah negara hukum dikenal sebagai imbas sepak terjang aparatnya yang lebih menyukai mempermainkan (memandulkan) norma-norma yuridis dan sibuk menahbiskan demagogisasi yang menguntungkan secara ekonomi dan politik.

”Memanfaatkan” (mendemagogisasi) kekuasaan dikenal sebagai salah satu jenis ”kejahatan” yang dijadikan opsi, bahkan ditahbiskan oleh oknum aparat negara, pasalnya opsi ini menjadi sumber strategis memenuhi ambisi ekonomi dan politik. Sulit rasanya mengeliminasi stigma jika ambisi tersebut yang terus dimenangkan

Di mata demagogis tersebut, konstruksi negara—sudi lembek atau kuat—tidak jadi pertimbangannya. Yang selalu dipertimbangkan merupakan bagaimana ”sekoci-sekoci” hajat eksklusif dan instannya bisa terpenuhi. Penyakit yang dipertahankan dan diabsolutkan oleh elitis-elitis2 itu tak boleh didiamkan oleh rakyat. Rakyat lewat berbagai organisasi wajib ”mengeraskan” suaranya untuk mengingatkannya.

Rakyat tak boleh membiarkan, apalagimengamini, mereka makin membentuk sepak terjangnya jadi oportunis. Mereka wajib ”dijewer” supaya negara ini tak dijadikan objek ”ketoprakan”. Mereka harus ”ditobatkan” biar paham dan sadar arti khitah etik dan yuridisnya sebagai pejabat negara dan bukan sebagaielemen yang memolitisasi jabatannya.

Abdul Wahid,
Wakil Direktur I Bidang Akademik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang dan Pengurus AP-HTN/HAN
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 April 2017, di halaman tujuh dengan judul "Ketoprak Ketatanegaraan".
SHARE

Author

Hi, Its me Hafeez. A webdesigner, blogspot developer and UI/UX Designer. I am a certified Themeforest top Author and Front-End Developer. I'am business speaker, marketer, Blogger and Javascript Programmer.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system